Labels

Sunday 14 October 2012

gajah

monyet

Harimau

Habitat dari 400-500 harimau sumatera (panthera tigris sumatraensis) kian tergerus, sehingga harimau harus memperluas wilayah buruannya untuk mencari makan. Padahal, hal itu justru memperbesar risiko harimau berkonflik dengan manusia, seperti ditangkap, diburu, bahkan terbunuh.
Peneliti Harimau Sumatra dari Wildlife Conservation Society (WCS), Haryo Tabah Wibisono menjelaskan panjang lebar saat berdialog dengan Green Radio. Menurutnya, meskipun harimau sumatera termasuk satwa yang mudah beradaptasi, namun kerusakan habitatnya, dapat menyebabkan mereka akan terpisah-pisah menjadi komunitas yang kecil-kecil. Saat itu terjadi, maka harimau berisiko hidup lebih pendek, dibandingkan bila mereka ada dalam satu cakupan luas habitat yang bisa mencapai minimal 100 ekor.
GR (Green Radio): Saat ini, habitatnya dimana saja?
HTW (Haryo Tabah Wibisono): Hampir di seluruh Sumatera ada. Namun habitatnya sudah terpecah-pecah. Habitat besarnya ada di Bentang Alam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Bentang Alam Bukit Sebelas. Dan terbesar ada di Aceh yaitu di kawasan Leuser. Ketiganya kini menjadi habitat utama bagi harimau sumatera, karena jumlahnya cukup besar mencapai lebih 100 ekor. Selain itu, ada 15 Bentang Alam lainnya dengan area lebih kecil, padahal di area seperti itu, harimau sumatera sulit untuk hidup panjang.

GR: Yang ada di Aceh, apakah populasinya cukup aman?
HTW: Saat ini belum bisa ditentukan jumlahnya. Kami sedang menjalankan kajian ilmiah terbaru untuk mengetahui jumlahnya, akan keluar pertengahan tahun ini. Ketiga habitat itu memiliki lebih dari 100 ekor. Bila merujuk dari kajian-kajian di tingkat global, kawasan yang memiliki lebih dari 100 ekor, bisa diperkirakan bertahan lebih dari 100 tahun.

GR: Jumlahnya 400-500 ekor itu akurat?
HTW: Itu merupakan estimasi yang dikeluarkan tahun 1994 berdasarkan kajian tahun 1992. Sekitar 400 ekor ada di lima kawasan taman nasional dan di dua hutan lindung. Sedangkan, 100 ekor lainnya ada diluar kawasan tersebut.
GR: Apa ancaman terbesar bagi populasi satwa langka ini?
HTW: Ada tiga ancaman utama. Dua diantaranya berdampak langsung ke jumlahnya, yaitu perburuan dan konflik dengan manusia. Sedangkan ancaman ketiga adalah perusakan habitat, menyebabkan populasinya terpisah-pisah.
GR: Antara ancaman-ancaman tersebut, mana paling mengancam pemusnahan?
HTW: Dalam 10 tahun terakhir, perburuan menjadi penyebab langsung mematikan bagi harimau. Tapi sekitar lima tahun terakhir, ada peningkatan konflik dengan manusia. Di Aceh Selatan, antara Mei-Desember 2007, sebanyak 12 ekor ditangkap penduduk. Kedua hal itu penyebab utama.
GR: Pemburuan masih terjadi?
HTW: Sulit diklarifikasi, karena tidak ada data pastinya. Diperkirakan di awal 2000, sebanyak 34 ekor diperdagangkan. Namun di lapangan, kita tahu pemburuan itu cukup tinggi. Konflik yang terjadi pun dimanfaatkan oleh pemburu untuk mendapatkan harimau, yaitu, membeli harimau yang ditangkap oleh masyarakat.
GR: Bagaimana mengurangi masalah konflik?
HTW: Bukan hal mudah untuk diselesaikan. Saat terjadi konflik, masyarakat cenderung menangkapnya lalu diserahkan ke kebun binatang. Itu hasil dari WCS dan lembaga-lembaga lain yang memberikan penyadaran ke warga, bahwa harimau adalah binatang dilindungi. Jika terjadi pertemuan biasa, harimau sumatera yang ditangkap warga, akan dibebaskan. Namun, kalau satwa itu telah memangsa manusia, biasanya akan ditangkap.

Konflik yang sering terjadi, kerap terpicu karena harimau sumatera itu memakan ternak warga. Agar terhindar dari masalah yang sama, kami memberikan pengetahuan ke warga, bagaimana mengelola ternak secara lebih baik, agar terhindar dari pemburuan harimau sumatera. Salah satunya adalah membangun kandang-kandang anti serangan harimau, seperti di Aceh dan Lampung.
GR: Lalu, tindakan pencegahan terhadap pemburuan?
HTW: Banyak sekali. Tapi kita yakin, tindakan pencegahan itu tak sebanding dengan volume perdagangan atau buruan terhadap harimau sumatera. Ada beberapa lembaga yang konsen terhadap penegakan hukum terkait perburuan ini, seperti di Sumatera Selatan atau Sumatera Utara. Hasilnya, pelaku berhasil dihukum beberapa tahun atau bulan. Tapi, saya yakin itu belum maksimal, perlu upaya pemerintah agar menerjunkan aparatnya menegakkan hukum kepada para pemburu.
GR: Upaya konservasi yang dilakukan, apakah berhasil?
HTW: Banyak metode yang layak digunakan. Sayangnya, yang konsen menggunakannya hanya LSM international. Seharusnya pemerintah menjadi ujung tombak konservasi harimau sumatera. Memang saat ini cukup baik, tapi, tetap harus ditingkatkan.
Saat ini, WCS bersama beberapa lembaga international sedang melakukan penafsiran populasi harimau sumatera di seluruh wilayah Pulau Sumatera. Semoga hasilnya bisa diketahui pertengahan tahun ini.
GR: Terkait upaya pelestarian satwa ini, adakah negara lain yang juga melakukan konservasi?
HTW: kalo konservasi hanya ada di Sumatera. Sedangkan pembiakan ada di beberapa negara. Seperti November lalu, di Australia, lahir tiga ekor harimau sumatera.
GR: Saat ini, jumlah populasinya ratusan. Apakah ini bisa dianggap berhasil?
HTW: Belum bisa mengklaim berhasil, karena skema pemantauan populasinya kita belum punya. Itu kelemahan kita saat ini. Hanya bisa melihat indikasi-indikasi penurunan populasinya, tapi belum bisa mengklaim berapa persen.
GR: Berapa besar angka angka aman untuk populasinya?
HTW: Sulit menjawab itu. Misalnya, bila kita sebut 100 ekor, saat ini pun angka itu sudah dicapai dari tiga habitat utama tadi. Tapi, itu pun tidak bisa kita katakan cukup. Secara global, seluruh dunia ada 4000 harimau. Rencana untuk 10 tahun, minimal naik 50% atau menjadi 6000-7000 harimau. Angka itu dianggap sudah menjamin keberlangsungan hidup harimau tingkat dunia. Tapi untuk di Sumatera sendiri, perlu ditingkatkan kualitas habitatnya, sehingga angka 500 bila bertambah, mencapai jumlah yang dirasa cukup aman.
GR: Soal peningkatan jumlah habitat?
HTW: Jelas, tapi terbentur banyak kepentingan. Tapi, harimau itu termasuk hewan yang mudah beradaptasi dengan habitat baru. Dia bisa cukup nyaman hidup di habitat yang sudah terkonversi menjadi belukar, ada juga harimau bisa hidup di perkebunan. Banyak bukti harimau hidup diluar habitat.
Melihat kondisi itu, langkah yang diupayakan adalah mengajak pemegang konversi atau pihak swasta bersama-sama melindungi harimau sumatera. Karena secara fisik menambah luas habitatnya.
GR: Bagaimana sosialisasi kepada pengusaha itu?
HTW: Sudah diawali saat kita menyusun strategi dan aksi 2007 lalu. Pemda dan pengusaha kita libatkan. Dalam waktu dekat, kita mau adakan pelatihan pengelolaan harimau sumatera di kawasan konversi (sawit dan HPH). Ada respon yang baik dari mereka, bahkan dibiayai oleh pihak swasta.
GR: Adakah batasan ideal jarak aman habitat harimau dengan manusia?
HTW: Sangat tergantung pada ketersediaan sumber makan, air dan ancaman yang mungkin datang. Semakin sedikit makanan, maka makin luas habitatnya. Di bagian selatan Sumatra, habitat mencapai 150 km persegi untuk 1 ekor harimau. Sedangkan di Leuser yang terjal bisa mencapai 250 km persegi. Jadi tidak ada jarak yang aman kalau dari sisi luasnya habitat.
GR: Masa depan konservasi?
Banyak kalangan masih optimis, harimau sumatera bisa diselamatkan. Dengan catatan, stake holder harus merasa memiliki, sehingga membantu pelaksanaan konservasi. Rencana ke depan, akan dibangun koridor satwa, yang menjembatani dua habitat yang terpisah, tapi akan dilakukan dua tahun ke depan.